Awalan

Mualaf Denny, Gemetar dan Pingsan Mendengar Suara Adzan

 


Setiap habis Ramadhan, hamba rindu lagi Ramadhan; saat-saat padat beribadat, tak terhingga nilai mahalnya. Demikian petikan syair salah satu lagu kasidah Bimbo yang diciptakan sastrawan senior, Taufiq Ismail.

Bagi kaum Muslimin, bulan kesembilan menurut penanggalan Hijriyah itu memang sarat keutamaan. Hal itu pun dirasakan Denny Sanusi, Pelaksana Tugas Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).

Bahkan, baginya, kesan Ramadhan lebih personal lagi. Sebab, lelaki yang kerap disapa Denny Zhang itu pertama kali mengucapkan dua kalimat syahadat tatkala malam Ramadhan.Persisnya, ketika momen bulan suci, dirasakannya, bertepatan dengan Lailatul Qadar.

Kepada Republika, tokoh berusia 60 tahun itu menuturkan kisah hidupnya sejak pertama kali mengenal Islam hingga akhirnya memeluk agama tauhid ini. Ia lahir dan tumbuh besar di keluarga yang menjalankan tradisi kebudayaan leluhur. Pria berdarah Tionghoa ini mengaku, tidak begitu tertarik pada Islam tatkala dirinya masih anak-anak hingga remaja.

Bagaimanapun, ada sebuah kebiasaan yang dilakukannya pada saat itu belakangan diketahui nya cukup islami. Dalam arti, hobinya itu ternyata selaras dengan ajaran Islam. Sejak kecil, Denny tidak suka mengonsumsi daging babi. Padahal, di tengah tradisi budayanya sajian tersebut cukup mudah dijumpai.

"Pernah satu ketika saya dibohongi, kalau makanan yang sedang disajikan itu adalah sup sapi. Eh, ternyata sup babi! Setelah tahu itu, saya memuntahkannya. Sejak itu, keluarga saya tidak pernah lagi memberikan saya makanan yang mengandung daging babi,” tuturnya beberapa waktu lalu.

Sayangnya, Denny kecil tumbuh bersama orang-orang terdekat yang menyimpan sedikit kecurigaan terhadap Islam. Kaum Muslimin kerap diidentikkan mereka sebagai orang terbelakang. Dalam penilaian simplistiknya, mayoritas orang Islam di Indonesia berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dan bahkan papa. Imej penganut agama ini terkesan sangat buruk.

Hingga menapaki usia 20 tahun, Denny masih acuh tak acuh terhadap Islam. Malahan, sebenarnya ia tidak begitu mempedulikan kehidupan religius. Sehari-hari, rutinitas dilaluinya tanpa merasa perlu melakukan ritual atau ibadah.Ia bercerita, hingga usianya belasan tahun yang diikutinya adalah budaya religi leluhur.Barulah setelah bersekolah di sebuah SMA keagamaan, dirinya pindah ke agama tertentu.Sebelum lulus dari sana, ia sudah dibaptis.

Saat menjadi mahasiswa, Denny mulai merasa perlu untuk menemukan kedamaian batin.Sebab, hidupnya mulai diwarnai kegelisahan. Biasanya, orang akan beralih pada agama untuk menemukan kedamaian. Namun, Denny saat itu entah mengapa merasa sangat malas. Baginya, ritual apa pun tidak membawa ketenteraman hati.

Memasuki semester keempat, ia memiliki semakin banyak teman. Banyak di antaranya yang Muslimin. Sebagai pemuda yang kritis dan suka berpikir logis, ia sering mengajak beberapa kawannya untuk memperdebatkan iman atau agama. Ada seorang dari mereka yang kemudian mengusulkan, bagaimana kalau Denny sendiri bertemu dengan seorang ustadz.

Sebab, kata kawannya itu, pengetahuan tentang dasar-dasar agama dapat didengarnya melalui dai. Sederhana saja: tanyakanlah sesuatu kepada orang yang memang ahli dalam bidang itu. Maka, Denny pun menuruti anjuran temannya tersebut.

Sang kawan memperkenalkannya dengan ustadz yang dimaksud, sebut saja namanya Rahmat. Denny menangkap kesan, pendakwah ini suka dengan nuansa diskusi yang kritis. Baginya, ini suatu nilai tambah yang menyenangkan.

Denny pun mulai terbuka. Kepada Ustadz Rahmat, ia mengungkapkan, sebenarnya dirinya tidak berposisi menggugat eksistensi Tuhan. Ia meyakini bahwa Tuhan ada. Bahkan, m enurutnya, doa-doa yang dirapalkan pun sesungguhnya berguna untuk menguatkan hubungan vertikal, yakni antara makhluk dan Penciptanya.

Akan tetapi, lanjutnya, hingga saat itu ia merasa ragu untuk meyakini siapaTuhan itu.Agama ini menyatakan itu. Agama lainnya menyebutkan yang berbeda. Sebagai manusia, bagaimana mengetahui mana yang benar atau kebenaran sejati itu?

Ustadz Rahmat tampaknya senang dengan penjabaran itu. Denny lalu dimintanya untuk tidak putus berdoa.

“Ustadz itu menyarankan saya untuk berdoa kepada Tuhan dengan tidak perlu menyebut nama Tuhan berdasarkan agama. Cukup Tuhan saja. Lalu mintalah kepada Tuhan untuk ditunjukkan, agama mana yang dapat menyelamatkan diri ini di dunia dan akhirat,” katanya mengenang.

Maka setiap hari, terutama menjelang tidur, Denny selalu memanjatkan doa kepada Tuhan. Ia berharap, Yang Mahakuasa dapat memberikannya petunjuk. Dari hari ke hari, perilaku Denny pun mulai menunjukkan sisi religiusitas. Kedua orang tua Denny memiliki sebuah perusahaan yang cukup sukses.

Banyak karyawan Muslim yang bekerja di sana. Sebagai sang pemilik, ayah dan ibunya tidak menunjukkan sikap berat sebelah, apalagi mengintimidasi, para pekerja yang berlainan iman. Profesionalisme dan prestasi, itulah yang tetap menjadi tolok ukur, bukan identitas suku, agama atau ras.

Denny sempat bekerja di perusahaan kedua orang tuanya tersebut. Waktu itu, ia sedang dalam proses mengenal Islam lebih dekat. Menurutnya, tidak cukup dengan hanya mengandalkan diskusi bersama Ustadz Rahmat. Perlu pula untuk mengetahui bagaimana orang-orang Islam mengamalkan agama ini.

Maka, Denny sering memperhatikan bagaimana para pegawainya yang Muslim menjalankan kepercayaannya. Misalnya, ketika suara dar i musola berkumandang--yang belakangan diketahuinya sebagai adzan, apakah ada di antara mereka yang meninggalkan pekerjaan, untuk menunaikan ritual.

Bahkan, ketika Ramadhan tiba, Denny bertindak lebih jauh lagi. Dia merasa percaya diri untuk ikut-ikutan berpuasa. Para pegawai mungkin mengira, bos mereka hanya ikut acara-acara khas Ramadhan, semisal buka puasa bareng atau berbagi kepada anak-anak yatim di panti asuhan. Padahal, lelaki berdarah Tionghoa itu pun merasakan apa yang mereka rasakan, yakni menahan lapar dan dahaga sejak pagi hingga petang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel