Menikah Beda Agama di Indonesia, Begini Ketentuan Hukumnya
Pernikahan beda agama selalu menjadi polemik yang diperdebatkan dalam kehidupan masyarakat. Ada sebagian pihak yang mendukungnya dengan alasan cinta, namun ada juga yang menentangnya atas dasar agama.
Meski begitu, pernikahan beda agama sebenarnya telah memiliki landasan hukum di Indonesia. Walaupun belum jelas, beberapa pasangan menjadikan dasar hukum ini sebagai jalan keluar untuk mengesahkan pernikahan mereka di mata negara.
Pernikahan beda agama tetap bisa didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil melalui proses penetapan oleh pengadilan. Aturan ini dibahas dalam Putusan Mahkamah Agung Reg. No 1400 K/ Pdt/ 1986. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang perkara menikah beda agama di Indonesia beserta hukumnya.
Pandangan Hukum tentang Menikah Beda Agama di Indonesia
Perdebatan soal menikah beda agama timbul seiring denga rumusan norma dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal tersebut tidak memuat secara jelas tentang dasar hukum menikah beda agama di Indonesia. Namun, tidak diaturnya perkara tersebut bukan berarti menjadi penghalang bagi mereka yang menginginkan pernikahan beda agama. Hal ini disampaikan oleh Uswatun Hasanah dalam Buku Ajar Teori Hukum.
Menurut Uswatun, dengan diajukannya permohonan melangsungkan pernikahan beda agama kepada Kantor Catatan Sipil, maka status pernikahan tersebut bisa sah di mata negara. Kantor Catatan Sipil dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berwenang membantu pelaksanaan perkawinan bagi calon suami istri yang berbeda agama.
Di sisi lain, Mahkamah Agung juga memberikan putusannya melalui MA Reg. No 1400 K/ Pdt/1986 tentang pernikahan beda agama. Mereka menuturkan bahwa terjadinya kekosongan hukum yang mengatur perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan.
Sebab, hal ini bisa menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama. Dampak negatif tersebut bisa berupa terjadinya penyelewengan nilai-nilai sosial, agama, dan hukum positif.
Mengutip jurnal berjudul Penetapan Pengadilan dalam Mengabulkan dan Tidak Menerima Permohonan Perkawinan Beda Agama oleh Erma Kartika, dkk., putusan Mahkamah Agung ini dapat dijadikan sebagai yurisprudensi. Sehingga, dalam menyelesaikan perkara perkawinan beda agama, warga Indonesia bisa menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Meski begitu, berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Perkawinan, pihak Kantor Catatan Sipil masih bisa membatalkan pernikahan tersebut. Ini dapat terjadi jika pernikahan melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Nantinya, Kantor Catatan Sipil akan mengeluarkan surat penolakan tertulis yang bisa dibawa ke Pengadilan untuk selanjutnya diputuskan. Pihak pengadilan dapat memutuskan apakah penolakan tersebut memang tepat atau justru sebaliknya.
Selain melalui kacamata hukum, ketentuan pernikahan beda agama juga bisa ditilik melalui sudut pandang agama masing-masing calon mempelai. Dalam Islam, pernikahan beda agama jelas dilarang oleh Allah Swt. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat 5.
Kemudian, dalam ajaran Protestan, pernikahan beda agama juga tidak dikehendaki dalam Perjanjian Lama. Alasannya adalah kekhawatiran bahwa kepercayaan kepada Allah akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman.
Sama halnya dengan Kristen Protestan dan Islam, agama Katolik pun tidak membolehkan pernikahan beda agama. Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang Katolik dengan yang bukan Katolik adalah perkawinan yang tidak ideal.
Melihat larangan pernikahan tersebut, hendaknya calon suami istri yang tidak seiman berpikir matang-matang sebelum memutuskan berumah tangga. Jangan sampai keputusan yang diambil menimbulkan penyesalan di kemudian hari.