Ijazah Cara Belajar dari Mbah Moen yang Buat Gus Baha jadi Ulama Besar
Ulama kharismatik asal Rembang, MBAH MOEN memberikan IJAZAH cara BELAJAR pada GUS BAHA.
Cara BELAJAR MBAH MOEN tersebut berhasil membuat GUS BAHA fokus saat BELAJAR di Ponpes Al-Anwar Rembang.
Bahkan cara BELAJAR dari MBAH MOEN tersebut berhasil membuat GUS BAHA menjadi Ulama Besar di Indonesia.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan sendiri oleh GUS BAHA di hadapan para santrinya.
Kalau saja saya dulu BELAJAR sama MBAH MOEN nggak fokus, ya enggak bakal se-alim ini," ujar GUS BAHA
GUS BAHA pun sekaligus mengijazahkan pada santrinya.
Cara BELAJAR tersebut didapatkan Gus Baha dari gurunya MBAH MOEN saat dulu mondok di Al-Anwar Rembang.
"Ini sekaligus IJAZAH, kitab yang dibaca MBAH MOEN ini saya pelajari dulu, itu ijazahnya MBAH MOEN," ujarnya.
Cara belajarnya adalah, apa saja yang akan dibaca atau dibaca oleh MBAH MOEN, terlebih dahulu dibaca oleh GUS BAHA.
Adapun nanti, saat MBAH MOEN membacakan, GUS BAHA tinggal menyinkronkan dengan apa yang telah dipelajarinya.
"Sehingga saya ngaji itu sudah punya bayangan, misalnya saya baca "yajibu 'ala kulli mukallafin, addukhulu fil islam", nanti Saya tinggal ngecek bacaan saya yang saya baca malam dengan yang dibaca MBAH MOEN itu mirip enggak," ungkap GUS BAHA.
KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih akrab dipanggil GUS BAHA’ adalah putra seorang ulama’ ahli Qur’an, KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa.
Bahauddin lahir di Rembang tahun 1970, putra dari Kiai Nur Salim, pengasuh pesantren Al-Quran di dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Narukan adalah sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa.
Dari silsilah keluarga ayah beliau inilah terhitung dari buyut beliau hingga generasi ke-empat kini merupakan ulama'-ulama' ahli Al-Qur'an yang handal.
Silsilah keluarga dari garis ibu beliau merupakan silsilah keluarga besar ulama' Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang pesareannya ada di area Masjid Jami' Lasem, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Rembang.
Dibawah bimbingan ayahnya sendiri, GUS BAHA kecil mulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Al-Quran. Pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan Al-Quran beserta Qiro’ahnya dengan lisensi yang ketat dari sang ayah.
Ketika remaja, sang ayah menitipkan GUS BAHA mondok dan berkhidmah kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan. Di Al-Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam fan-fan ilmu syari’at seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir.
Dalam riwayat pendidikan beliau, semenjak kecil hingga mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang,GUS BAHA hanya mengenyam pendidikan dari dua pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu.
Untuk memulai pengembaraan ilmiahnya, GUS BAHA memilih Yogyakarta. Pada tahun 2003 ia menyewa rumah di Yogya dengan diikuti oleh sejumlah santri yang ingin terus mengaji bersamanya. Rumah sewaan tersebut letaknya tak jauh dari kediamannya.
Tahun 2005 ayahnya wafat sehingga ia harus kembali ke Kragan, namun pengajiannya di Yogyakarta tetap berlangsung sebulan sekali.
GUS BAHA pernah ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau tidak berkenan.
Dalam jagat Tafsir Al-Quran di Indonesia beliau termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar.
Di UII beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari se-antero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.