Ulama-Ulama Indonesia yang Menetap, Mengajar, dan Wafat di Makkah
Kalau membaca buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII karya Azyumardi Azra, kita akan mendapatkan informasi berharga bahwa Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf As-Singkili, Yusuf Al-Maqassari, Abdus Shomad Al-Falimbani, Arsyad Al-Banjari, Nafis Al-Banjari, Dawud Al-Fattani (Patani Thailand), dan ulama-ulama lainnya yang dalam tahap selanjutnya sangat menentukan corak keislaman di Nusantara, semuanya terkoneksi secara langsung dengan ulama di Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah (Haramain).
Ulama-ulama itu berguru kepada, misalnya, Ibrahim Al-Qurani dan Ahmad Al-Qusyasyi yang kemudian menyambung pada ulama seperti Syihabuddin Ar-Ramli, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Zakariya Anshari yang karya-karyanya masih kita baca. Artinya apa? Hubungan Nusantara dengan Haramaian sudah terjalin sejak lama.
Para ulama tersebut, meski belajar di Haramain sangat lama, umumnya tidak menetap di sana, tetapi kembali ke Nusantara dan berkiprah dalam kesultanan-kesultanan yang eksis pada waktu itu, seperti Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten, Kesultanan Banjar, dan lain-lain. Mereka menjadi Syekhul Islam yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan keislaman.
Sebelas Ulama
Syekh Abdullah Mirdad Abul Khair yang menulis biografi ulama-ulama Makkah dari abad 10-14 Hijriah/16-19 Masehi tidak memasukkan satu pun ulama kita di atas. Ada sebelas ulama Indonesia yang masuk dalam tarajim Abdullah Mirdad, tetapi kesebelas ulama itu adalah ulama yang lahir di abad 19. Ini menunjukkan bahwa minat para ulama kita untuk tinggal dan berkiprah di Makkah muncul terutama pada kurun itu.
Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 membuat jumlah kapal api yang berlayar dari Jawa atau Singapura melalui terusan ini dengan mendarat di Jedah, naik cepat. Agaknya ini dimanfaatkan para jemaah haji Nusantara yang umumnya datang ke Makkah tidak sekadar untuk berhaji. Di sisi lain sikap represif Belanda pasca-Diponegoro sepertinya membuat suasana keagamaan di Nusantara tidak tenang sehingga banyak yang mencari ketenangan dengan belajar di Makkah.
Para ulama itu kemudian belajar, menetap, dan menjadi pengajar di Makkah. Sebagian mereka tidak mau pulang ke Tanah Air sebelum Belanda pergi dari Nusantara. Prinsip inilah yang, menurut penelitian Sartono Kartodirdjo (1966), menjadi salah satu pemicu terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh para kiai dan guru tarekat, khususnya pemberontakan petani Banten 1888.
Adapun kesebelas (11) ulama Indonesia yang ditulis oleh Syekh Abdullah Mirdad adalah (1) Ahmad Khatib Sambas (2) Ahmad Sulaiman Minangkabau (3) Ahmad bin Hamid Quds (4) Abdul Ghani Bima (5) Abdul Qodir Al-Mandili (6) Ali bin Abdul Qodir Quds (7) Muhammad Syadzali (8) Marzuqi Al-Jawah (9) Nawawi Al-Jawi, (10) Nur Ismail Al-Khalidi Minangkabu, dan (11) Abdul Haq Al-Jawi.
Beberapa nama di atas masih asing di telinga kita. Ali bin Abdul Qodir Quds dan Ahmad bin Hamid Quds, misalnya. Siapa beliau berdua? Dalam menjelaskan sosok Ali bin Abdul Qodir Syekh Abdullah Mirdad mengatakan beliau adalah salah satu guru orang-orang Jawa di Makkah. Beliau lahir di Kudus, sebuah daerah di Jawa dan belajar dengan Ahmad An-Nahrawi, Yusuf Sumbulaweni, Sayid Ahmad Dahlan, dan lain-lain.
Sosok asing lainnya adalah Muhammad Syadzali. Syekh Abdullah Mirdad mengatakan bahwa Muhammad Syadzali asalnya dari Jawa meskipun lahirnya di Makkah. Lahir tahun 1290 H dan ayahnya bernama Muhammad Wasi’. Beliau hafal Al-Qur’an, matan Sanusiyah (Tauhid), Alfiyah, dan lain-lain, belajar kepada Syekh Soleh Ba Fadl dan Syekh Abdul Haq Al-Jawi (cucu Syekh Nawawi Banten).
Lebih Banyak
Kesebelas ulama di atas tentu tidak mewakili secara keseluruhan. Masih banyak ulama Jawa menjadi guru di Makkah yang tidak dicatat dalam tarajim tersebut. Amirul Ulum (Al-Jawi Al-Maki) mencatat kurang lebih ada dua puluh lima (25) ulama yang berkiprah di Haramain.
Mereka adalah: (1) Nawawi Al-Bantani (2) Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (3) Mahfudz At-Termasi (4) Abdul Hamid Al-Qudsi (5) Sayyid Muhsin Al-Musawa (6) Baqir Al-Jukjawi (7) Muhaimin Al-Lasemi (8) Yasin Al-Fadani (9) Ahmad Khatis As-Sambasi (10) Ismail Al-Khalidiyah (11) Mukhtar Al-Bughuri (12) Junaid Al-Batawi, dan (13) Abdul Karim Al-Bantani.
Lalu (14) Ali Al-Banjari (15) Ahyad Al-Bughuri (16) Abdul Ghani Bima (17) Jinan Al-Sariaki (18) Abu Bakar Al-Tambusi (19) Ahmad Nakhrawi Al-Banyumasi (20) Zainudin Al-Baweani (21) Abdul Qodir Al-Mindili (22) Husein Al-Palimbani (23) Abdullah Durdum Al-Fadani (24) Zakaria Bela, dan (25) Abdul Fatah Al-Rawa.
Berkat buku Al-Jawi Al-Maki karya Amirul Ulum, ulama-ulama yang hanya disebut secara sekilas oleh Syekh Abdullah Mirdad menjadi terang. Tentang sosok Abdul Hamid Quds, misalnya, Ulum menyebut dengan cukup detail, termasuk informasi bahwa beliau adalah orang yang mengusulkan kepada Kiai Raden Asnawi Kudus untuk menikahi Ibu Nyai Hamdanah yang merupakan janda Syekh Nawawi Al-Bantani (Al-Jawi Al-Maki, 2017: 110).
Apabila ditambah dengan Abdul Haq Al-Jawi, Muhammad Syadzili, dan Marzuqi Al-Jawah (sosok yang tidak muncul dalam karya Amirul Ulum), maka jumlah ulama yang menetap, menjadi guru, dan wafat di Makkah ada 28. Jumlah itu kemungkinan besar belum mencakup semua. Masih banyak ulama Nusantara yang berkiprah di Makkah yang belum terdokumentasikan dengan baik. Wallahu a’lam bis shawab wa al-khatha’.